“Blaaak….”
Suara bola lemparan dari Hanafi berhasil mendarat dengan manis di lengan Haris Fadilah, itu menjadi akhir dari permainan kasti dengan kemenangan tim Hanafi dengan skor 2-1.
Dari celah pintu yang terbuka, aku mencoba menengok jam yang tergantung di ruang guru. Oh pukul 09.25. Aku yakin, pak Bardi sebentar lagi akan memukul lonceng dengan irama khasnya.
Kami memang terbiasa memanfaatkan waktu istirahat yang hanya 30 menit ini untuk bermain kasti. Permainan yang cukup asik pada jaman itu, sangat jauh dari sentuhan teknologi pastinya.
Masih ada waktu lima menit untuk menghilangkan lelah. Aku bergegas menuju ke warung kecil di sudut sebelah kanan sekolah.
“Bu, es sirup satu ya!”
Pintaku pada Bu Tinah yang terlihat ribet sekali karena menghadapi banyak permintaan yang bersamaan dan penuh ketidaksabaran.
Terlihat Haris Fadilah yang sudah sangat haus masuk ke warung sampai di belakang Bu Tinah untuk mengambil minuman sendiri. Yaa…memang Haris adalah anak bu Tinah, jadi dia bebas-bebas saja keluar masuk warung ibunya sendiri. Sesekali dia juga membantu ibunya melayani pelanggan yang tidak lain adalah teman dia juga.
“Teng teng teng… Teng teng teng…”
“Yaaaah….” suara keluh para penunggu pesanan minuman.
Bunyi lonceng yang dipukul Pak Badri adalah tanda berakhirnya jam istirahat pertama, dan kita harus segera kembali ke dalam kelas.
Untungnya, minumanku tersisa satu seruput, lalu habis. Sementara, Bu Tinah semakin mempercepat geraknya, masih ada dua pelanggan yang belum mendapatkan pesanannya.
Kelar menyeruput, aku bergegas masuk kelas, sedikit berlari menuju kelas, mengingat setelah ini pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Kadir guru yang galak, dan tidak suka jika ada siswa yang telat masuk.
Kelasku berada di lantai satu, paling pojok, tapi paling dekat dengan tangga. Jadi hanya perlu naik beberapa anak tangga, lalu sampailah di depan pintu kelas, tidak perlu menyusuri lorong yang sebenarnya tidak terlalu panjang juga.
Terlihat teman-teman sudah berada di dalam kelas. Para perempuan paling rajin kalau soal ini, sementara laki-laki masih ribut saja dan hanya menunggu di depan pintu sambil melihat ke arah tangga, memastikan Pak Kadir akan masuk kelas.
15 menit berlalu Pak Kadir belum kunjung terlihat, belum ada tanda-tanda langkah kaki menaiki tangga, sementara guru-guru kelas lain sudah beberapa kali lewat di depan kelas kami.
Pak Kadir bukan tipe yang suka terlambat, sekalipun telat, paling lama 5 sampai 10 menit. Teman-teman perempuan juga sudah mulai bertanya-tanya.
“Eh, kemana Pak Kadir ya? Kita panggil yuk ke kantor guru” – Ucap salah satu teman kami bernama Fitriani.
Fitriani ini memang salah satu teman yang rajin sekali, perawakannya sedikit gempal, potongan rambunya pendek tidak seperti perempuan lainnya. Yang unik dari dia adalah selalu duduk di deretan depan dan di bagian tengah, setidaknya itu yang aku tahu hingga kelas enam ini. Setiap kali rolling tempat duduk, dia selalu meminta duduk dibagian itu, yang artinya dia tidak pernah dapat rolling.
Hanafi yang mendengar ucapan Fitriani, langsung berkata “Eehh biarin ajalah, Fit. Ngga usah dipanggil, kan enak nih jam kosong”.
Tapi memang dasar perempuan ya, kalau salah satu temannya mendapatkan perlawanan dari laki-laki, mereka akan secara otomatis bersatu untuk melawan balik.
“Wuuuuuu……..” mereka semua kompak bersuara begitu ke arah laki-laki di mana Hanafi berdiri.
Fitriani langsung mengajak salah satu teman bermana Evi untuk pergi ke kantor guru.
“Yuk Vi, kita jemput pak Guru ….”
“Yok lah….” – ucap perempuan benama lengkap Evi Djuwita ini.
Evi adalah salah satu perempuan yang juga judes kalau di kelas, sering kali mengomel kepada laki-laki jika sedang ribut. Tidak seperti Fitriani, Evi bertubuh tinggi, lengkap dengan rambut lurus dan panjang, kulitnya putih, bermata sipit yang bahkan hampir terlihat seperti keturunan Tionghoa, walapun sebenarnya bukan.
Melewati kerumunan laki-laki, mereka berduapun menuruni anak tangga menuju ruang guru.
Setelah kira-kira sepuluh menit, yang berarti sekarang sudah hampir jam sepuluh, terlihatlah mereka akan menaiki tangga menuju kelas. Tidak tampak Pak Kadir di sana, namun justru terlihat guru lain bersama mereka.
Mereka terlihat naik bersama Ibu guru Djumiati. “Ibu Djum” kami kerap menyapanya, adalah seorang guru olahraga. Hari ini memang ada jadwal pelajaran beliau, Penjaskes ( Pendidikan Jasmani dan Kesehatan ), pukul 12.30, alias jam terakhir hingga pulang.
Sepertinya Pak Kadir sedang tidak di tempat, dan entah ide dari siapa, Ibu Djumiati akan menggantikan jam beliau. Benar saja, Ibu Djum menuju kelas kami untuk bertukar jam pelajar dengan Pak Kadir.
“Ayooo masuk yooo…, belajar sama Ibu…” Sambil bercanda Ibu Djumiati mengajak anak-anak masuk.
Sementara itu kami bersorak “Asiik asiiik…. “ sambil satu persatu masuk ke dalam kelas.
Secepat kilat semua sudah duduk rapi di bangku masing-masing. Seperti biasa, Bu Djum selalu memulainya dengan berdoa bersama.
Ibu Djum adalah guru yang asik, tidak terlalu sepaneng dan suka bercanda. Jelas kami yang menyukai beliau, dan sudah pasti juga; pelajaran Olahraga dan Penjaskes adalah favorit semua.
Karena pelajaran dan pengajarnya asik, membuat jam kelas Bu Djumiati ini selalu terasa sangat cepat, bahkan kita sering lewat jam ketika bahas olah raga dan gerakan-gerakan. Namun sejujurnya aku lebih tertarik bagian prakteknya, kalau teori sih sama saja, ya gitu deh, lebih sering ngantuk. hehe.
Tidak terasa jam sudah menunjukan pukul 11. 40, yang artinya tinggal lima menit menuju istirahat kedua. Biasanya saat-saat seperti ini, aku selalu menanti pak Badri segera memukul loncengnya. Tapi karena ini yang mengajar bu Djum, kok rasanya masih asik bercanda dan belajar di dalam kelas ya. Hehe…
“Teng….teng….teng….. Teng….teng…teng….”
Jam pelajaran berakhir, Ibu Djumiati pun segera mengakhiri jam mengajarnya, tak lupa menutup dengan doa tentunya. Terlihat Bu Djum tergesa-gesa keluar kelas, sambil sesekali melihat jam berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Kalau boleh menebak; sepertinya beliau punya janji, atau keperluan yang cukup penting selepas ini.
Sewajarnya kelas pada umumnya, selepas pelajaran selesai semua mulai riuh ramai, sudah ada yang mulai bersorak, ada yang mulai berdiri, yang duduk di depan sudah mulai menoleh kebelakang untuk ngobrol dengan teman di belakangnya.
Sementara aku? Malah merapikan tas, memasukan buku yang berserakan di atas meja ataupun yang di dalam laci. Tidak lupa menyimpan alat tulis yang biasanya cuma ditinggal di laci kelas.
Entah bagaimana, karena terbiasa, dalam benakku; jika pelajaran Bu Djumiati selesai, maka itu adalah saatnya pulang.
Dengan penuh percaya diri akupun mencangklong tas hitamku sambil berjalan keluar beriringan dengan gerombolan yang juga ingin meninggalkan kelas, aku masih belum sadar jika mereka keluar untuk beristirahat dan tidak ada satupun yang membawa tas.
Beberapa langkah mendekati pintu keluar, si Evi berteriak padaku ” Woiii mau kemana woi..? “.
Sontak langkahku terhenti, seketika itu tubuhku menjadi panas, ketukan detak jantung seperti berhenti sejenak dan kemudian menjadi cepat tatkala aku menyadari sepertinya aku salah jam pulang!
Dalam benakku “arrgh tak lama lagi mereka akan tertawa terbahak-bahak melihatku menggendong tas ingin pulang, padahal ini baru jam istirahat kedua.”
Benar saja, mereka yang tadinya sudah melangkahkan kaki keluar pintu lantas berbalik sambil tertawa melihatku, “bhuahahaha buahahaha…” semakin riuh ketika tawa mereka bersambut dengan tawa dari mereka yang masih di dalam ruang kelas.
Arrrgghh aku malu sekali waktu itu. Badan terasa sumuk dan perasaan jadi campur aduk.
Yaaa mau bagaimana lagi. Jadi bahan tertawaan teman sekelas, hanya karena sebuah kesalahan yang tidak berkelas.
Dengan menahan rasa malu, akupun kembali ke kursiku yang berada di paling belakang pada baris kedua dari meja guru.
Sambil meletakkan tas hitam yang cangklongan-nya berupa tali, akupun tertunduk malu di meja. Aaahh sial batinku.
Sambil mencari alasan agar mengalihkan kelucuan hari ini, aku hanya bisa tertunduk di meja. Menerima kondisi itu hingga akhirnya semua selesai menertawakanku.
***
Itulah ceritaku ketika duduk di bangku sekolah, pernah ditertawakan karena salah jam pulang!
Baru-baru ini kembali teringat cerita ini setelah ada pembicaraan yang cukup seru di group WhatsApp teman SD yang isinya hanya 18 orang.
Walaupun sebagian besar sudah lupa wajah, semoga sehat-sehat semua ya.
Sekian dulu ya, …
Punya pengalaman yang sama? atau punya cerita yang berkesan lainnya?
Also published on Medium.
Hahahahahahaha 😂 kalau saya dilokasi kejadian pasti saya ikutan ketawa, mas 😆 tapi wajar kalau lupa, namapun kebiasaan selalu pulang setelah kelas Bu Djum, kan 🙈
Lucu ceritanya, ala-ala cerpen tapi kisah nyata 😍 bagus lhooo mas hahahaha. Ditunggu cerita-cerita berikutnyaaaa. Eniho, teman-teman mas masih ingat kejadian itu, kah?
Hahaha iya, secara alam bawah sadar sudah terbiasa kalau selepas pelajaran Bu Djum pasti pulang.
Alhasil begini deh, pengalaman jadi bahan tertawaan, yang jadi kenangan tentunya hehe.
Teman-teman sudah pada lupa, yang ingat hanya yang jadi korban tertawaan hahaha
Terima kasih, sudah berkunjung kembali mbak Eno. 👋
muridku dulu ada yang kayak gini
anak kelas 1
malah dia udah sampe supermarket depan sekolah
pas kutanya, katanya kalau TK pulangnya jam 10
lah dia ga sadar udah masuk SD wkwk
Waaaaa pasti lucu tuh wajah si anak ketika dia bilang “Katanya TK pulang jam 10” :))
Hahahaha maafkan aku yang ikutan tertawa juga saat membaca tulisan ini! Tapi kisah ini jadi kejadian yang tak terlupakan kan, Kak hahaha. Kisah masa-masa sekolah yang kadang dirindukan tapi nggak bisa diulang kembali :’)
Btw, ceritanya bagus, Kak! Seperti kata kak Eno, ceritanya seperti cerpen tapi ternyata dari kisah nyata. Penulisannya itu yang membuat seperti sedang membaca cerpen hahaha. Ditunggu tulisan-tulisan lainnya, kak.
Hi Lia,
Tertawa saja, tidak perlu minta maaf, Mbak. Memang cerita ini untuk berbagi tawa kok haha. Aku pun kadang nyengir sendiri ketika mengingat kejadian ini. hihi.
Terima kasih telah berkunjung dan untuk memuji tulisan yang sebenarnya aku sendiri kurang percaya diri untuk mempublishnya.
Sikap fitriani ini persis seperti sikap yg suka aku lakuin sama temenku yg bernama yanti. Kita yg rajin pada jamannya nggak suka kalau kelas kosong, tapi anak laki2 suka sekali. Jadilah, kita suka diejek jadi anak yg kerajinan. Kalo aku skrg sih lebih milih kosong aja, hihi
Bagus sekali ini penyampaian ceritanya. Menginspirasi saya buat bikin beginian, pengen nyoba juga, biar biar terlatih kayak tulisannya mas ardhi, hihi
btw, Mas ardhi ini fontnya apa yaa? suka ih, ini kayak di medium jga ya tampilannya. Lagi nyari banget font dan tampilan kayak medium, saking gagal move on dari medium nih nyari2 mulu tapi blm nemu..
Woooo ternyata Mbak Ghina salah satu anak rajin pada jamannya. Pasti dulu suka banget musuhan sama anak laki-laki hehe…
Fontnya pakai “Libre Baskerville”, Kak.
Iya, memang menyenangkan melihat font yang digunakan di Medium.
Terima kasih telah berkunjung Mbak Ghina.
Baca ini kangen ih zaman2 sekolah dulu :p. Riuh pas ga ada guru, ga sabar nunggu bel pulang, istirahat ke kantin ato yg punya pacar mojok dulu hahahahaha.
Kocak nih ceritanya :D, selalu ada kekonyolan begini pas zaman sekolah. Yg paling aku inget, temen2ku yg suka bolos dengan loncat jendela. Dan ternyata dibawah udh menunggu guru BP yg siap2 menangkap mereka hahahahahah