Bercerita tentang jenis kelamin laki atau perempuan.
Hari itu sepulang bekerja aku mampir ke warung sate kambing langganan. Biasanya memang sebulan sekali aku akan mampir ke warung ini untuk membeli tongseng dan sate. Yaa… ini semacam caraku mengapresiasi hidup dengan jajan sehabis gajian. Aku pesan 2 tongseng dan 2 sate dibungkus tanpa nasi, dibawa pulang untuk makan malam.
Tidak seperti biasanya, aku bertemu seseorang yang familiar di warung ini, beliau adalah Mr. Sans. Beliau aku kenal karena sering bertegur sapa di lingkungan tempat tinggalku. Sebenarnya beliau ini tidak tinggal satu perumahan denganku, namun cukup sering muncul dan berkegiatan di lingkungan sekitar. Beliau tinggal di pinggir jalan Kaliurang. Kalau kamu tahu fashion story di kilometer 12, nah itu adalah deretan tanah beliau.
Beliau ini usianya mungkin 75 tahun-an ke atas. Sudah sepuh, sudah simbah. Tapi beliau ini terlihat masih sangat segar dan gesit. Salah satu rutinitas beliau adalah setiap pagi selalu sepedaan. Saat aku mulai berangkat bekerja, aku melihat beliau sedang sepedaan.
–
“Lhoo pak, kok jauh sekali sampai sini?” ujarku saat pertama kali menyapa beliau di warung. Beliau menjawab “iya, ini aku janjian sama ponakanku untuk ketemuan dan makan di sini”, “Ponakanku pengen sate dan nraktir aku, yo wis tho aku mangkat”. Lalu kami bercengkrama basa basi gitulah.
Pertemuan kami tidak terlalu lama, mungkin tidak sampai setengah jam. Antrian tidak banyak, pesananku juga cepat selesai. Obrolan kami pun belum jauh sampai kemana-mana. Hanya ada satu pertanyaan yang pembahasannya cukup menarik. “Mas, putromu itu ada berapa sekarang?” Aku jawab “Dua pak, perempuan semua”. Beliau menimpali begini. “Wah, ini tidak sesuai hasil riset saya”. Lalu aku tertarik “Lhoo riset apa tu pak?”.
Beliau mulai menjelaskan riset apa dimaksud “Saya itu sudah keliling Indonesia mas, kerja di mana-mana. Selama saya berkeliling itu, saya melakukan riset pertanyaan setiap kali bertemu dengan sebuah keluarga. Saya selalu bertanya mengenai jumlah dan jenis kelamin anak-anak mereka”. Jadi menurut hasil riset saya selama ini begini; “Jika dalam sebuah pasangan, tinggi laki-laki-nya seperti jari tengah dan tinggi pasangannya seperti jari telunjuk, maka kebanyakan anaknya berjenis kelamin laki-laki. Tapi jika pasangan dari laki-laki itu bertinggi seperti jari manis, maka kebanyakan anaknya adalah perempuan.”
“Waaa..lhaaa teori bagaimana itu pak, kok bisa begitu?” “Saya itu udah keliling Indonesia mas, dan banyak orang yang sudah saya temui dan tanyai, dan teorinya itu dilihat dari selisih tinggi badan kedua pasangan”. Beliau berusaha meyakinkan teorinya. “Jika selisih tingginya banyak, maka kemungkinan anak laki-laki lebih besar. Jika selisihnya sedikit, maka kemungkinan anak perempuan lebih besar.”
Pada riset beliau ini asumsinya adalah anatomi jari telunjuk lebih rendah dari jari manis.
Demi mengakhiri pembicaraan, kami tertawa bersama dan menyepakati cerita ini, walaupun begitu, kami sama-sama menyadari bahwa anak adalah rejeki atas kehendak yang Maha pemberi. Laki atau perempuan itu sudah ditentukan sang pemberi.
Entah cerita ini hanya basa-basi atau bukan, yang jelas saya berterima kasih kepada beliau telah berbagi cerita yang bisa jadikan bahan tulisan di sini. hehe…
Oh ya, sebelum mengakhiri tulisan ini. Hae halo tahun 2024. Semoga kita selalu dipeluk kabaikan dan mimpi-mimpi terwujud sesuai dengan apa yang direncanakan
Thank you Mr. Sans!
Leave a Reply