Jika dibandingkan dengan liga sepakbola negara-negara Eropa, maka untuk menyukai sepakbola Indonesia memang tidak mudah. Butuh loyalitas, butuh kerelaan dan butuh banyak hal yang dimaklumi.
Satu-satunya sepakbola Indonesia yang masih bisa langsung diterima semua rakyat adalah pertandingan timnas, itupun saya rasa lebih karena rasa nasionalisme. Walaupun sebenarnya timnas kita itu tidak pernah benar-benar mujur setiap kali partai krusial, alias selalu gagal mencapai titik puncak klimaks kemenangan.
***
Jauh mundur ke Tahun 95, Saya mulai mengenal sepakbola Indonesia dari tanah Borneo, tepatnya dari kota Banjarmasin bersama klub kebanggaan Barito Putera. Sebuah kejadian yang tak terlupakan pada tahun tersebut adalah ketika saya mengikuti konvoi di jalanan kota, saat itu hampir semua warga tumpah ruah di ruas jalan dalam sebuah perayaan. Sayangnya itu bukanlah perayaan dengan arak-arakan Piala juara, namun perayaan status juara di hati para rakyat.
Sejarah kelam terjadi pada tahun tersebut, Barito Putera yang lolos ke partai puncak Ligina 1 harus kalah dengan “kecurangan” 0-1 dari Persib Bandung. Kenapa curang? saat pertandingan tersebut sebenarnya Barito mampu membuat dua gol, namun keduanya dianulir oleh wasit Khairul Agil karena dianggap offside, banyak pihak (termasuk komentator) mendukung bahwa itu onside. Konon katanya ada “pengaturan” antara penyelenggara dan pihak pemenang. Saya masih ingat nama wasit itu karena saat konvoi tulisan AGIL GILA tercoret di mana-mana, di spanduk-spanduk, bahkan pada teriakan-teriakan konvoi. Barito boleh kalah di partai final, tapi mereka juara di hati para warga kota dan saat itu saya adalah salah satu anak yang ikut dalam konvoi tersebut.
Masih di tahun 90-an, saya juga mulai mengenal sepakbola Eropa, tepatnya Liga Italia. Kaos klub dan pemain tak luput dari pembelian, salah satu kaos yang saya punya adalah Hidetoshi Nakata yang saat itu top sekali di Roma setelah kepindahannya dari Perugia. Selain Liga Italia saya juga mulai mengenal sepakbola Liga Champion, terutama Manchester United. Saya adalah pendukung tetap klub itu. Setiap kali MU tampil di liga Champion saya selalu siap di depan layar kaca, bahkan ketika saya harus bangun jam setengah tiga pagi sekalipun. Hingga kini saya adalah big fan of Manchester United, dan Liga Inggris sudah menjadi tontonan favorit setiap akhir pekan.
Kembali ke Sepakbola Indonesia, tak adil rasanya jika membandingkan dengan Sepakbola Eropa, sepakbola kita itu seakan-akan sangat jauh sekali. Bahkan untuk dinikmati sebagai sebuah tontonan hiburan saja sepertinya kurang menghibur dan entertaining.
Setiap kali nonton pertandingan yang ada adalah pertandingan berjalan monoton. Lebih sering kehilangan bola, umpan-umpan panjang, kontrol kurang baik, lari sekencang-kencangnya dan yang selalu muncul adalah permainan kasar dan berujung protes lalu berkelahi.
Secara permainan memang itu adanya sepakbola kita, jangan dibandingkan dengan sepakbola modern diluar sana. Belum lagi kalau menyimak betapa carut marut organisasi di dalamnya. Jangan terkejut juga jika banyak beredar match fixing dalam sebuah pertandingan bahkan pengaturan hasil turnamen. Begitulah adanya, kita harus memaklumkannya.
Rumput tetangga lebih hijau itu hanya sebuah istilah, tapi dalam sepakbola kita rumput lapangan benar-benar tak hijau. Kita juga tak perlu terkejut jika melihat laga sepakbola justru mirip seperti bermain dalam kubangan air. Begitulah adanya, dan lagi-lagi kita harus memaklumkannya.
Iklan muncul tiba-tiba ditengah pertandingan pun kita juga harus memakluminya. Bahkan ketika siaran langsung pertandingan tiba-tiba berubah jadi acara breaking news pun kita harus menerimanya.
Belum lagi kalau kita membicarakan soal supporter. Jangan ditanya, sudah jelas gambaran negative melekat pada fans militan liga Indonesia, urakan suka rusuh dan lain lain. Tapi ingat! di antara mereka ada supporter seperti saya yang sopan dan ramah. Kita juga harus memaklumi soal ini, karena inilah budaya kita. Budaya anak muda kekinian yang penuh ekspresi dan sedikit brutal.
Bicara soal supporter ada baiknya bicara juga soal loyalitas, sejauh yang saya tau loyalitas para pendukung fanatik sudah tak perlu diragukan. Saya sendiri merasakannya, salah satu contohnya adalah bagaimana para Sleman Fans sangat-sangat loyal terhadap klub nya, PSS. Bahkan mereka rela pergi jauh hanya untuk menonton maupun menangisi ketika klub mengalami kekalahan.
Untuk suka sepakbola Indonesia memang butuh banyak hal penerimaan, jangan hanya dibandingkan dengan tontonan Liga-liga Eropa saja. Beginilah sepakbola Indonesia, level kita memang seperti ini, kita hanya perlu menerima, mendukung dan tetap loyal.
Saya pribadi sih cuma berharap semoga masih bisa selalu menikmati asiknya sepakbola dari kacamata seorang penyuka permainan, bukan menilai dari banyak aspek diluar itu. Karena pada dasarnya saya menyukai proses permainannya, proses terjadinya gol, bukan hanya soal hasil akhir pada papan skor.
Sekian dan mari nonton sepakbola.
Also published on Medium.
Leave a Reply