Punya tahi lalat kan? Sepertinya semua orang punya ya, entah di mana posisinya atau besar kecilnya.

Aku mau cerita soal tahi lalat yang ada di tubuhku. Aku punya tahi lalat yang cukup besar di wajah, di atas bibir sebelah kiri. Ukurannya kira-kira selingkar ujung jari kelingkingmu. Ukuran yang menurutku besar untuk sebuah tanda tubuh di wajah, ya bisa disebut tompel. Aku ngga tahu perbedaan keduanya dan kenapa dibedakan, ah mungkin hanya soal penyebuatannya saja ya.

Waktu aku kecil, jelas ukurannya lebih kecil, lalu membesar seiring tubuh yang juga membesar. Sebenarnya ada tahi lalat lainnya di wajah, ukuran lebih kecil tersebar di beberapa tempat seperti hidung dan pipi.

Continue reading

Ini adalah live bloging.

Selepas mengantar Aila sekolah, aku mampir untuk membeli bubur ayam. Walaupun sudah cukup sering menyantapnya, ini adalah kali pertama aku membelinya sendiri. Maklum, biasanya lebih sering dibelikan. Hehe

Walau cuma menggunakan gerobak di pinggir jalan, warung ini laris pembeli. Buka pukul tujuh pagi dan biasanya tidak perlu waktu lama buburnya habis diserbu para pembeli. Kamu perlu sabar untuk menunggu antrian, karena bubur diracik oleh satu orang ibu-ibu (anggap saja ibu barokah) secara satu per-satu.

Ketika aku datang, kira kira aku mengantri sekitar 8 orang di depanku, tapi itu hanyalah mitos saja. Karena antrian tidak sistematis jelas terkadang diserobot mak emak (simbah) atau bapak-bapak yang antree aja pakai ngerokok, hih!

Aku pikir inilah Indonesia. Soal antree saja belum bisa tertib. Sebuah kemewahan yang tidak bisa dijumpai di negara tertib, ya kan? (eh belum pernah ke negara lain ding ya, semoga ada kesempatan nantinya).

Seorang bapak-bapak pesepeda tiba-tiba membelokan tunggangannya ke warung ini. Tidak lama kemudian sebuah mangkok berisi bubur lengkap diberikan padanya. Lho lho bapak ini mengantri dari mana? Kok tiba-tiba langsung dapat semangkok bubur siap santap? Hehe.

Kurang lebih 40 menit akhirnya tiba gilaran ku. Yey! Bubur ini harganya lima ribu perak, rasanya enak karena memang enak dan antreenya yang sangat kearifan lokal…hehe

Dah ya, buburku udah jadi dan mau pulang untuk menyantap.

Selamat berakhir pekan,…

“dan terjadi lagi….kisah lama yang terulang kembali…”

Yes.. yes…itu penggalan lirik lagu “separuh aku” dari Noah. Saking ikoniknya lirik ini, aku yakin kamu melantunkan nadanya saat membaca lirik tersebut. Eh eh tapi kalau kamu kenal lagu ini ding hehe :).

***

Setelah sempat landai bahkan sangat landai, kini virus yang viral (Cov-19) kembali di lingkaranku. Konon sih ini adalah Third Wave atau gelombang ketiga. Yah apapun itu, kondisi ini mengingatkanku saat gelombang-gelombang sebelumnya. Di mana aku cukup khawatir atau sangat khawatir dengan kondisi penyebaran virus yang semakin mendekat.

Kali ini sepertinya aku tidak bisa menghidar dari keberadaan virus yang mulai menggerus sekelilingku. Perlahan tapi pasti beberapa kawan dan kolega mulai terinfeksi. Akupun harus siap untuk menjalani uji penyaringan (screening) guna berkontribusi dalam pemutusan rantai penyebaran virus.

Bagi orang yang punya hubungan baik dengan cemas, ini bukanlah perkara mudah. Ada rasa yang tiba-tiba muncul kembali, “khawatir” adalah salah satu yang muncul dengan seenaknya. Ia datang seenaknya! menggerogoti pagar yang selama ini dibangun perlahan untuk menguatkan diri.

Saat ini aku hanya berharap bisa melalui ini, apapun itu, mengikuti uji penyaringan, menghadapi hasil atau kejadian terburuk, bahkan mampu berangkat saja aku sudah sangat senang. Semoga ya!

Tetap sehat-sehat ya kamu…

*ditulis minggu malam, dan besok adalah senin*

Setelah memulai tahun ini dengan tulisan MacOS itu, aku belum menuliskan apapun lagi sampai-sampai bulanpun sudah berganti. Sebenarnya bukan tidak punya cerita yang layak untuk disimpan di sini. Hanya saja aku merasa terlalu banyak rentetan kejadian di awal tahun ini yang membuatku perlu waktu untuk menceritakannya kembali.

Pagi ini saat aku membangunkan tidurnya kekasihku, mbak Aila. Aku menyinggung “Pengalaman dia yang beberapa hari lalu menjalani swab antigen.”, Itu adalah pengalaman pertamanya, dan katanya sih sakit. Aku coba memunculkan sebuah ide padanya; Bagaimana kalau pengalaman itu dituliskan sebagai sebuah cerita di bukunya? Sambil aku tawarkan ide lainnya. “Mbak Aila mau dibuatkan blog website? nanti bisa nulis di blog itu sambil belajar mengetik di papan keyboard. Bagaimana? Dia hanya menjawab dengan “eemmhh”, maklum dia baru bangun dari tidurnya. Hehe.

Awal tahun ini cukup berwarna dan waw banyak kejutan. Yang jelas semua kejadian apapun itu adalah hal baik, Alhamdulillah. Salah satu yang mengejutkan adalah Adik ipar yang makbedunduk memasuki proses persiapan untuk melepas masa lajangnya. Setelah sekian ribu hari, akhirnya dia berada di fase ini. Tentu dong semua orang berbahagia, namun jelas agenda ini membuat cukup riweuh. Mulai dari proses ini itu dan persiapan ini itu.

Continue reading

Sudah hampir satu bulan ini aku menggunakan macOS untuk daily working at home. Dan di tulisan ini aku akan bercerita tentang bagaimana pengalamanku menggunakannya sebagai lingkungan baru dalam berkarya.

Ceritanya berawal dari sebuah pekerjaan pada akhir tahun kemarin yang membuatku meminang sebatang Macbook. Memang sih aku punya rencana untuk meningkatkan (upgrade) laptop untuk keperluan berkarya. Apalagi semenjak kesayanganku Ai sekolah di rumah, laptop cukup sering digunakan untuk keperluaannya. Jadi sepertinya aku perlu menambah satu unit mesin lagi untuk menunjang kegiatan-kegiatan kami.

Continue reading

Okay, ini adalah hari terakhir di tahun 2021. Jatuh pada hari Jum’at tepat menjelang libur akhir pekan. Sempurna! untuk kita semua yang akan menikmatinya.

Seperti biasanya, ada rasa-rasa yang menerawang ke belakang. Bertanya pada diri sendiri tentang perjalanan tahun ini. Sudah ngapain? Sudah sampai mana? Sudah semakin baik belum? Ada keluh berserakan dimana-mana, namun ada pula syukur yang melapangkan dada.

Seringkali kita meresonansi kenangan, mengingat apa yang sudah dilewati. Mungkin itu adalah cara kita agar tetap menjadi manusia pada umumnya. Mengingat dan menceritakan masa lalu adalah cara kita menghargai setiap perjalanan. Eh eh itu aku ding, hehe.

Beberapa mimpiku tahun ini terwujud. Ada beberapa keinginan yang terlaksana. Namun, banyak pula hal yang harus direlakan untuk dilepas. Tahun ini luar biasa bagiku, pun tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun luar biasa bagiku. Seperti rollercoaster, tahun ini adalah saat di atas dan di bawah secara bersamaan. Tentu saja aku bersyukur untuk semua itu. Tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri itu.

Continue reading

Anjirrr… nggak ngira aku bakal nulis bab ini. Semir rambut woi! tuwooo tuwoooo….hahaha…

Kurang lebih dua minggu ini aku pakai semir rambut. Kenapa? ya jelas karena rambut putih mulai banyak bermunculan di setiap sudut, udah kayak rambut highlight gitu dah.

Sebenarnya aku heran juga kenapa rambut putihnya semakin banyak yah? apakah ini pertanda aku sudah menua? ah tentu saja dong. Apakah ini pertanda aku sudah sangat stress? ataukah ini pertanda untuk meninggalkan dunia hitam? hahaha apalah itu, pokoknya rambutnya mulai putih!

Adalah mbak Osa yang membelikan sebuah produk semir rambut. Katanya mumpung ada promo 10 ribuan, lalu dia coba deh beli satu sachet dengan maksud mencobanya di kepalaku hehe. Dia belum banyak ubannya sih, ada tapi nggak banyak, mungkin baru beberapa helai. Itupun tersembunyi dibalik helaian rambut-rambutnya yang lain.

Dah itu aja ceritanya, sekarang aku pakai semir rambut! bukan untuk menolak keberadaan rambut putih sih. Ini lebih kepada pilihan saja. Untuk saat ini aku memilih menggunakan semir. Kita lihat yah, berapa lama ini akan bertahan.

Kamu gimana? sudah pakai semir belum? atau memilih membiarkan begitu saja? hehe… itu pilihan masing-masing ya gaes….

Seeyaa…….peace love and gaol….

“Umur berapa kamu tahu bahwa kidal adalah singkatan dari kiri dari lahir?”

“Umur berapa kamu tahu bahwa basa-basi adalah singkatan dari bahas sana-sini?”

“Umur berapa kamu tahu bahwa benjol adalah singkatan dari bengkak menonjol?”

“Umur berapa kamu tahu bahwa doi adalah singkatan dari dia orang istimewa?”

Ternyata ada banyak hal yang baru kita ketahui setelah menjadi lebih dewasa ya. Sepertihalnya ini, aku baru mengetahui perihal nama “Hood” dalam tokoh Robin Hood. Ini aku ketahui setelah nonton film tersebut. Sebenarnya ini film lama, tahun 2018, tapi memang dasarnya aku belum pernah nonton hehe.

Continue reading

“Kalau mas nya namanya siapa?” – tanyaku kepada mas-mas di depanku.

“Namaku bagus mas, Tedi” – jawabnya. Hah?? Namanya Bagus atau Tedi ya? hehe.

“Namaku itu Tedi, tapi ada Jawa-nya, mas”. Hmm maksudnya gimana tuh? Lalu dia meneruskan dengan nama panjangnya, “Tediyanto, mas.” owalah! hahaha.

Aku sebenarnya tidak begitu yakin dengan susunan abjadnya, entah itu Tediyanto, atau Teddyanto. Disambung atau dipisah juga nggak tahu. Intinya dia menggambarkan kalau namanya memiliki unsur Jawa setelah diberi akhirnya Yanto. Mungkin karena nama Tedi dianggap bukanlah nama yang awam dipakai orang jawa kali ya, mungkin.

Tedi melanjutkan ceritanya. “Aku tu lahir di taksi mas”. Hah? sebentar, ini sepertinya akan lucu. “Jadi, aku tu lahir disaat dalam perjalanan menuju ke tempat persalinan. Belum benar-benar sampai, eh akunya udah lahir di dalam taksi”. hahaha sontak muncul senyum tawa di antara kami sore itu.

Continue reading

Samsons adalah salah satu band tahun 2000-an yang terhitung sukses pada eranya. Hingga setelah ditinggal Bams sang vokalis dan kemudian disusul Konde sang drummer, nama Samsons mulai redup. Namun tidak sedikit lagu-lagu mereka yang hingga sekarang masih diperdengarkan. – Begitu ujar salah satu penyiar radio yang menemani perjalananku menembus malam dan sedikit rintik hujan.

Esok harinya, dalam perjalanan menujut tempat kerja. Aku kembali mendengar Samsons. Kali ini ku dengar dari seorang musisi jalanan yang sedang memainkan lagu tersebut di perempatan di mana aku bertemu mas-mas selo berjoget. Kebetulan banget yah! malam harinya diperdengarkan soal Samsons dan pagi harinya pun begitu.

Karena sudah lama tidak mendengarkan lagu-lagu mereka, aku jadi lupa judul lagu apa yang dinyanyikan masnya ini. Sambil menebak lagu apa yang dinyanyikan ini, aku berniat setelah sesampainya di kantor aku akan memutar lagu-lagu mereka. Samsons!

Kamu punya lagu kesukaan dari mereka? let me guess… Kenangan terindah? Naluri Laki-laki ? kalau aku sih lagu ini “Akhir Rasa Ini”. Bukan karena ada kesan masa lalu lho ya, ini suka karena secara progresi musiknya aku suka, asik aja chordnya. Bahkan di spotify tersedia versi demonya, versi sebelum rilis resmi, dan lumayan beda banget mixingnya.

Kamu punya cerita tentang Samsons? bukan Samsons betawi lho ya! hehehe…

Dah yah, be right back ngedraft tulisan lain ngga kelar-kelar…

Waktu menunjukkan pukul 7.45 terlihat di dashboard motorku. Tidak biasanya jam segini aku sudah sampai di perempatan kentungan, biasanya lebih sering telat. Pagi ini aku berhenti di paling depan karena baru saja lampu merah menyala.

Alih-alih ngelamun, salah satu kegiatanku ketika menunggu lampu hijau menyala adalah mengamati sekeliling. Biasanya sih mengamati papan iklan. Kalau sore hari biasanya mengamati seniman/ pengamen yang mendendangkan lagu. Sering kali lagu yang mereka nyanyikan menjadi referensiku untuk gitaran.

Berada di sebelah kanan seorang wanita berseragam kantor menggunakan motor beat. Masih terlihat muda, namun sepertinya sudah berkeluarga. Dari pakaiannya terlihat bahwa beliau pekerja kantoran yang sedang mengejar waktu absen di tempat beliau bekerja, semoga nggak telat ya bu!

Di sebelah kiri ada seorang pria, yang membuatku menulis cerita ini. Pria ini berperawakan tidak kurus dan tidak pula gemuk. Berkulit hitam, postur tubuhnya pas dan terlihat berisi. Mengenakan jaket berwarna gelap dan memakai celana jeans pendek.

Continue reading

Apa sih yang membuatmu berangkat ke Jogja? Iya aku tahu kamu melanjutkan kuliah di sini, tapi bagaimana kok kamu bisa memutuskan memilih Jogja? Apakah karena memang ingin kota ini atau karena sudah ada gambaran tentang sekolah selanjutnya? Lalu bagaimana ceritamu berangkat ke kota ini?

Jauh sebelum di kota ini aku tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Berangkat ke Jogja untuk melanjutkan kuliah adalah awal dari cerita-ceritaku di kota ini.

Jujur, aku tidak pernah punya gambaran mau melanjutkan kuliah di mana ataupun jurusan apa. Aku tidak punya gambaran seperti orang-orang yang pernah aku tanya sebelumnya. Misalnya ingin kuliah jurusan ekonomi, jurusan hukum atau jurusan bahasa. Aku tidak pernah ada pikiran tersebut.

Pokoknya dulu itu aku sekolah aja, nggak ada kepikiran apa-apa tentang kuliah. Entah memang aku terlalu fokus atau aku memang belum punya rencana masa depan yang baik. Hahaha…

Continue reading

Berkumpul dengan insan baru selama beberapa bulan jelas membuat kami saling mengenal dan saling bertukar bercerita. Banyak hal yang aku pelajari dari mereka, banyak hal pula yang telah mereka lakukan untuk kami.

Kali ini aku akan bercerita tentang mereka, menulisnya sebagai pengingat bahwa mereka pernah ada dalam prosesku membangun mimpi. Mereka adalah keluarga para ahli. Orang-orang yang piawai dalam membangun rumah. Kita biasanya mengenal mereka dengan sebutan tukang, namun kali ini sebut saja mereka dengan diksi para ahli.

Continue reading

Adalah kegiatan yang sebenarnya cukup menghabiskan waktu dan tenaga (pikiran). Melakukan sesuatu atas dasar belum tahu, biasanya hanya akan menjadi coba-coba yang belum tentu ada hasil dan tujuannya.

Mengulik bukan perkara yang banyak dilakukan. Sebagian orang sudah lelah terselimuti keadaan. Sudah lelah dengan kegiatan yang ada. Alasan yang biasanya dinilai bijaksana adalah sudah merasa cukup dengan kondisi sekarang, ra sah ngoyoo nek jarene wong jowo. Yang sebenarnya adalah kondisi pelik antara hasrat dan kondisi nyata (Saat waktu ada, inginnya istirahat. Saat ingin berkarya, waktu tak punya).

Tidak ada yang salah dari semua pilihan. Semua berhak menentukan pilihan sesuai dengan keadaan dan kesenangan. Yang jelas semua pilihan adalah baik, tanpa terkecuali pilihanmu.

Continue reading

Sebuah tulisan bertajuk Tak Mangapa Menjadi Mas mas biasa di white journal memancingku untuk menulis judul di atas. Aku sepakat hampir di setiap paragraf dalam tulisan tersebut. Isinya jujur, sederhana dan memang begitu adanya. Menikmati yang kita punya, tanpa harus keras terhadap dunia.

Aku ingat salah satu tulisanku yang lain, tentang keinginan, yang mana tidak semua keinginan dapat diraih, bahkan kita sendiri yang harus menghentikannya. Bukan untuk tidak menggapainya, tapi memilih untuk menikmati yang kita punya.

Continue reading

Beberapa hari ini, setiap Maghrib aku mengajak si kecil Aya pergi ke Masjid. Selain untuk mengenalkan penciptanya, aku ingin melihat perkembangan Aya dalam menjumpai hal-hal baru. Oh ya, saat ini Aya berusia kurang dari tiga tahun, tepatnya dua tahun delapan bulan. Usianya akan ganjil tiga tahun pada bulan November nanti.

Aya ini memang lebih berani dibanding mbaknya. Dia cenderung suka ikut dan mau mencoba ini itu. Walaupun begitu kadang dia tiba-tiba masih sering menarik diri dan takut.

Hari pertama aku mengajaknya ke Masjid, aku pikir Aya akan menolak ajakanku, eh ternyata dia langsung mau dong. Aya dengan semangat minta pakai kerudung sama Mamapnya, sambil bilang “Adek Aya mau pergi ke Masjid”. Langsung cus ke Masjid. Aku pikir anak ini akan rewel atau mungkin akan minta pulang. Aku harus siap-siap nih, aku sebenarnya grogi sih (efek psikosomatis mulai muncul).

Sampai di Masjid, Aya mulai observasi lingkungan, sebenarnya tempat ini tidak terlalu asing bagi dia. Aya beberapa kali main ke sini dan sudah mengenal beberapa orang di sini. Namun seperti biasa, semua hal pertasma selalu butuh pengenalan dan observasi.

Continue reading

Beberapa minggu ini bapak tidak makan nasi. Sebagai pengganti karbohidrat beliau mengkonsumsi tales, singkong atau suwek rebus. Selain nostalgia masa kecil dulu, makan makanan ini menjadi terapi untuk mengurangi kadar gula. Sehat selalu ya pak! . Eh eh bentar, kamu tahu suwek kan? Tales ? mereka ini juga sejenis tanaman umbi-umbian yang bisa direbus. (Googling sendiri ya).

Aku bertanya. “Pak, bu. Hal apa yang teringat ketika memakan tales rebus atau suwek rebus?”. “Yaaa waktu dulu masih kecil makannya ya begini, belum bisa beli beras. Kalau mau makan biasanya nyari ini di kebon.” Ujar beliau sambil tertawa menghangatkan suasana meja makan sore itu.

Sore itu di meja makan tersedia ikan bakar. Sudah dua hari kami mengkonsumsi ikan bakar. Kami penggemar ikan bakar. Bukan ikan bakar yang digoreng terlebih dahulu, tapi ikan bakar yang benar-benar dibakar langsung. Tentunya lengkap bersama sayuran rebus dan sambel sebagai penggugah selera. eiits… bagian ini ngga usah terlalu banyak, ingat asam lambung. hehe.

Ngomong-ngomong soal bahan makanan pengganti nasi, aku teringat sebuah cerita dari salah satu ekpedisi yang ceritanya sedikit nyerempet tentang makanan pokok. Sambil asik mengunyah aku mulai bercerita;

Continue reading

Judul di atas adalah waktu di mana aku mulai menuliskan ini. Lima menit lagi adalah waktu pulang. Kalau dulu jaman sekolah itu adalah waktu bel akan berbunyi.

Oh ya sekolahku SD dan SMP dulu pakainya lonceng, bukan bel. Loncengnya pun berasal dari velg ban mobil bekas, dipukul pakai besi entah besi apa itu. Sementara saat SMA sudah berganti menjadi bel, biasanya bunyinya gini “teeeet teeet teeet teeet”.

Baru nulis beberapa kata gini sudah memasuki menit ke 28 ( tiga menit berlalu ). Dua menit lagi waktu pulang, kembali ke rumah membawa lelah dan menemui penawar lelah.

Yuk mari pulang, kerja memang lelah tapi kalau ngga kerja malah bisa tambah melelahkan.

Hati-hati dalam perjalanan, sehat-sehat lah dan bahagia.

(tulisan yang embuh pada periode lima menit menanti saatnya pulang)