Ada sebuah kapal yang telah melewati perjalanan panjang—lebih panjang dari yang pernah dibayangkan oleh siapa pun di atasnya. Kapal ini sudah melintasi berbagai cuaca—tenang, badai, hingga ombak yang membuat geladak berderit, tapi hingga kini tetap kuat mengembangkan layar. Kapal ini kuat karena dilayarkan dengan penuh harapan, dikokohkan oleh kerja keras dan dijaga oleh tangan-tangan yang bersatu dalam semangat yang sama.
Selayaknya sebuah kapal, ada nahkoda yang bertugas membaca peta, menentukan arah agar kapal berada pada jalurnya. Ada pula para awak yang setiap hari menjaga layar, merawat mesin, memastikan kapal tetap melaju.
Namun belakangan, sesuatu yang berbeda mulai terasa.
Awalnya halus, seperti suara tali yang bergesek lembut. Namun kini mulai terdengar jelas: beberapa awak tidak lagi mendayung ke arah yang sama. Mulai menarik tali layar ke sisi yang lain, memperbaiki bagian kapal yang bukan prioritas, bahkan melakukan perjalanan kecil ke perahu samping.
Bukan berarti mereka buruk. Bukan pula mereka tidak setia pada kapal. Tetapi tujuan mereka perlahan berubah—tidak lagi sejalan dengan arah kompas yang dijaga — diharapkan oleh sang nahkoda. Sayangnya mereka pun tidak terbuka kepada sesama awak lainnya.
Aku sudah lama berada di kapal ini. Dari layar pertama kali dikibarkan, dari mesin pertama kali berderu, aku sudah di sini—bersama para awak, aku berdiri tegak di geladak dengan semangat yang sama. Kami pernah tertawa atas ombak yang hampir menenggelamkan, pernah saling menguatkan ketika badai menghantam tanpa ampun.
Dulu, aku selalu percaya satu hal: Selama kami bersama, kapal ini akan sampai ke mana pun yang dituju. Tapi akhir-akhir ini… entah mengapa, rasanya ada yang berbeda. Di tengah samudra yang seharusnya kapal melaju dengan satu tujuan yang sama kini terasa oleng. Layar yang harusnya tegak serempak justru bergerak dengan irama berbeda.
Karena ini hanyalah sebuah kapal, maka tak peduli sekuat apa kayunya, pasti akan sulit sampai pada tujuan jika awak di dalamnya tidak lagi satu suara.
Perbedaan arah bukanlah dosa. Setiap awak memiliki mimpi, keinginan dan pandangannya masing-masing. Tetapi di atas kapal, setiap perjalanan membutuhkan kebersamaan dalam mengembangkan layar. Tanpa itu, kapal hanya akan kehilangan kecepatan, bahkan mungkin terseret arus yang tak pernah direncanakan.
Aku percaya bahwa kondisi ini bukan tanpa harapan. Kadang kapal memang harus sedikit oleng untuk menyadarkan kita, bahwa ada yang perlu dirapikan, diperbaiki, dan dipahami ulang. Mungkin ini adalah fase ketika semua perlu mendengar lagi suara kecil dari bawah geladak.
Dan mungkin… ini adalah tanda bahwa perjalanan berikutnya akan menuntut kita untuk lebih dewasa dalam menentukan arah berlayar selanjutnya.
Apa pun itu, masih berharap ini menjadikan lebih baik.
Di depan banyak kabut, tapi itu hanya kabut yang sewaktu waktu bisa hilang kapan saja jika kita mau melalui bersama, bicara dan mendengarkan.
Selama kapal ini masih berjalan, selalu ada kesempatan untuk kembali sejajar dan kembali selaras.
Semoga layar-layar ini akan kembali berkibar dengan kuat—bukan karena dipaksa, tapi karena kami semua benar-benar memilih untuk mengarah ke pelabuhan yang sama.
Sampai saat itu tiba, aku akan menjalani ini dengan sebaik-sebaiknya —setidaknya sampai pelabuhan berikutnya terlihat di cakrawala.