Sudah hampir satu bulan ini aku menggunakan macOS untuk daily working at home. Dan di tulisan ini aku akan bercerita tentang bagaimana pengalamanku menggunakannya sebagai lingkungan baru dalam berkarya.
Ceritanya berawal dari sebuah pekerjaan pada akhir tahun kemarin yang membuatku meminang sebatang Macbook. Memang sih aku punya rencana untuk meningkatkan (upgrade) laptop untuk keperluan berkarya. Apalagi semenjak kesayanganku Ai sekolah di rumah, laptop cukup sering digunakan untuk keperluaannya. Jadi sepertinya aku perlu menambah satu unit mesin lagi untuk menunjang kegiatan-kegiatan kami.
Awalnya aku ingin merakit PC, memang salah satu mimpiku adalah membangun Personal Computer dengan casing jaman kuliah. Tapi setelah dihitung-hitung ternyata membangun PC impian itu membutuhkan budget yang tidak sedikit. Namanya juga rakitan ya, aku menginginkan spesifikasi yang mempuni untuk mengakomodir pekerjaanku (programming) dan aktivitas berkaryaku yang terkadang membuat musik, edit video, edit photo, membuat aplikasi dan lain-lain.
Setelah ditimbang-timbang, aku memutuskan untuk membeli laptop saja, selain lebih fleksible, harganya pun bisa ditekan, namun sudah mencukupi kebutuhan. Pilihanku jatuh ke Macbook. Alasan memilihnya; Aku belum pernah punya; Katanya bekerja menggunakan macOS ini nyaman; Katanya Powerfull; Sering lihat devs pada pakai Macbook; Penasaran ingin mencoba; dan yang terakhir adalah aku ingin memiliki Macbook.
Sedikit cerita, dahulu ketika jaman kuliah, aku hanya bisa melihat seorang teman pakai macbook yang terlihat keren banget. Sekarang Alhamdulillah punya rejeki dan bisa beli sendiri. Tunggu apalagi, langsung sikaatt ya kaann…
Selama perjalanan satu bulan bersama macOS ada hal yang membuatku takjub dan tentu saja ada hal yang membuatku kikuk karena perbedaan behaviour dari sistem operasi ini. Aku bisa dibilang 80% terlahir bersama Windows. Walau sempat menggunakan Linux, namun 8 tahun terakhir ini aku menggunakan Windows, baik di rumah ataupun di tempat kerja.
Perubahan yang sangat terasa ketika berpindah ke macOS adalah kebiasaan shortcut pada keyboard. Paling sederhana adalah penggunakan tombol Copy and Paste. Selain itu tidak semua aplikasi yang ada di Windows juga tersedia di macOs, terutama untuk aplikasi yang sudah terbiasa aku gunakan sebelumnya. Alhasil aku harus mencoba aplikasi lain yang kira-kira kemampuannya sama seperti yang pernah aku gunakan. Kikuk sih jadinya, kalau bisa dibilang jadi lebih lambat pergerakannya. Biasanya bisa cak-cek-cak-cek, tapi di Macbook jadi agak lambat. Tapi tidak apalah, aku rasa ini soal kebiasaan saja kan? nanti juga terbiasa, seperti kata Napoleon Hill – “Jangan takut untuk berjalan lambat, tapi takutlah jika hanya diam di tempat”. Haaasyeeek…
Aku sudah mencoba macbook ini untuk daily working at home, so far aku masih bisa mengendalikannya tanpa ada kendala yang berarti, kecuali soal kikuk tadi. Pada intinya aku perlu lebih mengenal bagaimana OS ini bekerja, bagaimana aplikasi di dalamnya dan bagaimana membuat aku lebih gesit (ahli) dalam menggunakannya.
Ada hal yang membuatku cukup terkesima dengan macbook ini, yakni trackpad asli enak banget! aku bahkan tidak perlu mouse untuk nananina. Keyboardnya pun menurutku terasa lebih nyaman, walaupun kadang aku masih suka kikuk. Sering mencari tombol Home, End, dan masih suka bingung antara pakai tombol command, control atau option.
Kesimpulanku mengenai pengalamanku berpindah ke Macbook atau macOs adalah asik! aku belajar mengenal sesuatu yang baru. Mencoba hal baru untuk menciptakan sesuatu yang baru pula. Ya nggak ? aku jadi ingat sebuah kalimat dari Henry Ford ; “Anyone who stop learning is old. Whether at twenty or eighty“. eee tapi emang sudah tua kan ya. Udah tua, nggak ahli pula! hih dasar aku!
Well, oke sekian tulisan curhat sombong ini, semoga tahun ini berjalan baik. Ingat! Salah satu cara untuk mencapai keberhasilan adalah mencintai proses mengerjakannya. Katanya sih gitu…
Lets ROCK n LOL 2022!!
Leave a Reply